Ulasan Buku: Trisurya oleh Liu Cixin

Her World in Her Words
8 min readJun 23, 2024

--

“Trisurya” yang dalam perjalanan membacanya sudah melewati Bogor — Banjarmasin — Shanghai — Suzhou — Beijing dan selesai di Bogor selama April — Juni 2024. What a trip!

Tulisan ini lahir dari keanehan algoritma Instagram yang awalnya membatasi dua dari sepuluh file lalu kemudian seluruh file dalam konten microblog mengenai ulasan Trisurya.

Awalnya file ini dan satu file yang isinya tentang profil penulis yang direstriksi oleh Instagram

Setelah mencoba mengunggah ulang, entah kenapa malah seluruh file yang direstriksi. Yes, termasuk cover-nya seperti foto di bawah ini. Duh, Insta kamu alergikah dengan konten ulasan novel sci-fi? 🫵😭

Apa yang aneh dengan judul yang dicuplik dari dialog karakter utamanya ini? 😭

Keterangan restriksinya pun karena termasuk kategori konten perjudian dalam wilayah hukum Indonesia. Well, oke terima kasih Instagram untuk kegigihan restriksinya walaupun entah dari sudut mana kedua foto di bawah ini masuk dalam kategori tersebut. 🙂

Percobaan ulang unggahan keempat dengan menghapus dua file yang ‘bermasalah’ dan berujung seluruh file direstriksi 🙂

Tentu saja, restriksi aneh dan sangat lucu itu tidak akan menggagalkan rencanaku untuk tetap mengunggah ulasan Trisurya khususnya di hari ini. Kenapa? Karena, Liu Cixin, sang penulis, berulang tahun hari ini!

Liu Cixin cr. Henry Söderlund, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons

Sebagai bagian pembuka dari trilogi Remembrance of Earth’s Past, Trisurya lahir dari tangan Liu Cixin pada 2006. Ketajaman penggunaan elemen-elemen ilmiah khususnya pada bidang fisika partikel sebagai plot hingga kelihaian Liu dalam menarasikan visualisasi dari elemen-elemen tersebut mengantarkan Trisurya menjadi novel yang memiliki basis penggemarnya sendiri. Animo pembaca dalam negeri yang tinggi lantas diamini dengan menerbitkan Trisurya dalam versi terjemahan berbahasa Inggris, Three-Body Problem.

Salah satu file-ku tentang rangkuman buku yang direstriksi berulang kali oleh Instagram

Nah seperti pertanyaanku di post tersebut, siapa ya Liu Cixin ini?

Alih-alih seorang fisikawan di bidang fisika partikel atau pun astrofisika apalagi penulis, Liu Cixin sendiri berprofesi sebagai computer engineer. Lalu darimana akar dari kuatnya pengaruh fisika pada karya-karya fiksi beliau? Pada bagian Catatan Penulis, kita bisa sedikit menyelami asal-muasal beliau dan bagaimana kemudian ia mencintai luar angkasa.

Terlahir di Beijing, Liu Cixin banyak menghabiskan masa kecilnya di desa kecil, daerah Luoshan, Provinsi Henan. Jauh dari keramaian ibukota dan juga polusi yang masih sangat minim saat itu, hamparan bintang di langit malam bukanlah pemandangan yang asing bagi Liu kecil dan teman-temannya.

Kemiskinan yang saat itu melanda tidak hanya keluarganya namun juga sebagian besar penduduk desa tidak menyurutkan kekagumannya saat ia mengamati Dongfanghong I, satelit buatan pertama dari Tiongkok. Kekaguman itu terpupuk hingga Liu mengenal konsep tahun cahaya dari buku sains dasar (“Seratus Ribu Pertanyaan Mengapa”).

Tidak seperti kebanyakan orang yang mungkin kesulitan membayangkan seberapa besar angka-angka dalam satuan seperti tahun cahaya, Liu kecil menyadari bakatnya. Liu mudah memahami skala dan keberadaan yang mungkin sulit dicerna oleh batas persepsi indera manusia. Skala seperti angka-angka yang besar dalam skala tahun cahaya atau pun yang kecil dalam skala nanometer. Keberadaan seperti ‘dawai’ (string) yang berkali-kali lipat lebih kecil dari kuark (partikel elementer yang merupakan kelompok partikel fermion).

Kekagumannya pada bidang fisika partikel pun tetap digelutinya bahkan pada saat ia bekerja sebagai seorang computer engineer. Liu juga menyalurkan kekagumannya tersebut pada bidang kepenulisan. Kemampuannya dalam penalaran numerik dan visualisasi spasial pun tampak dalam tulisan ini. Liu mampu menjelaskan sesuatu yang mungkin tampak abstrak seperti partikel hingga aktivitas matahari menjadi penjelasan yang mudah dipahami dan dibayangkan oleh pembaca.

Tentang Trisurya alias Three-Body Problem

Sesuai namanya, Three-Body Problem melibatkan permasalahan tiga-benda yang dihadapi oleh suatu planet di luar dari tata surya kita. Planet tersebut berada dalam sistem bintang Alpha Centauri yang cukup dekat dengan Bumi, berjarak sekitar 4,3 tahun cahaya (kurang lebih 40 triliun kilometer).

Sistem bintang Alpha Centauri terdiri dari dua bintang kembar (Alpha Centauri A dan B) yang berukuran besar dan satu bintang kecil (Proxima Centauri). Dibandingkan kedua bintang kembar, Proxima Centauri berjarak lebih dekat dengan Bumi (sekitar 4,2 tahun cahaya).

cr: Shot_4_Alternate.00016_print.jpg (1024×576) (nasa.gov)

Novel ini menggunakan unsur what-if dari kemungkinan keberadaan planet yang memiliki kehidupan namun ‘naasnya’ berada dalam sistem tiga bintang Alpha Centauri tersebut. Sebagai reminder, Bumi mengorbit Matahari. Dengan kata lain, orbit Bumi hanya ‘terpaku’ pada satu bintang saja, Matahari sang pusat tata surya, sebagai efek dari gravitasi Matahari terhadap Bumi.

Bisakah kita membayangkan apa yang terjadi pada kita bila Bumi harus mengorbit pada lebih dari 1 ‘Matahari’? Alih-alih tumbuh peradaban seperti peradaban manusia saat ini, kecil sekali kemungkinan bentuk kehidupan yang ada sekarang bisa muncul di Bumi.

Planet ‘Trisurya’ digambarkan memiliki sekian ratus peradaban yang tidak berumur panjang sebagai efek dari perubahan iklim dan cuaca yang ekstrim. Perubahan yang ekstrim ini adalah akibat dari masalah tiga-benda pada planet Trisurya yang mengorbit ketiga matahari. Seperti gambar di bawah ini, lintasan orbit yang tidak menentu/tidak memiliki pola berulang menyebabkan peradaban Trisurya tidak dapat mengestimasi perubahan posisi planet terhadap ‘matahari’. Dengan kata lain, siang yang panas membara bisa datang sekejap saja lalu kemudian secara mendadak diikuti malam berkepanjangan dalam suhu yang sangat dingin.

cr: Dnttllthmmnm, CC BY-SA 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0>, via Wikimedia Commons

Pada peradaban kesekian ratus, masyarakat Trisurya semakin mengembangkan kecerdasan peradabannya hingga sampai pada titik dimana mereka mampu memodifikasi dan memanipulasi partikel-partikel elementer. Setelah ratusan peradaban, masyarakat Trisurya sadar bahwa tidak ada solusi bagi planet mereka sehingga satu-satunya jalan adalah keluar dari Trisurya untuk memastikan kelangsungan umat Trisurya.

Dalam usaha peradaban Trisurya mengirimkan sinyal-sinyal transmisi ke luar angkasa, dengan harapan dapat ditangkap dan diterima oleh suatu peradaban lain di planet lain, seorang ahli astrofisika di Bumi bernama Ye Wenjie berhasil menangkap, menguraikan sinyal-sinyal tersebut, dan mengartikannya.

Ye Wenjie yang masa mudanya berada pada masa Revolusi Kebudayaan menyaksikan penyiksaan tentara pada ayahnya, seorang dosen fisika, hingga mengalami kekerasan akibat stigma akademisi yang dimiliki oleh ayahnya dan juga dirinya yang seorang fisikawan. Kekerasan dan kemudian pengkhianatan serta keterasingan yang dialami oleh Ye Wenjie pada masa-masa selanjutnya ia bekerja di Pangkalan Pantai Merah sebagai teknisi.

Seluruh akumulasi kejadian tersebut membentuk keyakinan dalam diri Ye Wenjie bahwa peradaban manusia sudah jauh kelewatan untuk dapat ditolong. Dia berpikir bahwa akan lebih baik bila peradaban Trisurya dapat menolong Bumi sebagaimana yang ia yakini bahwa peradaban yang maju memiliki moral yang maju pula. Terlepas dari peringatan salah satu penghuni Trisurya yang melarangnya untuk membalas pesan supaya posisi Bumi tidak diketahui (akibat kemudian khawatir bila Bumi diinvasi oleh peradabannya yang menurutnya sangat berbeda dengan Bumi), Ye Wenjie tetap memutuskan untuk mengirim pesan balasan.

Tiga Hal yang Menarik dari Trisurya

Sebenarnya sih banyak tapi mari kita pakai rule of three biar mudah diingat dan bikin kalian mau baca 🥲

  1. Konflik Moral sebagai Bahan Renungan Pembaca

Liu Cixin mengajak kita untuk merenungkan esensi kemanusiaan itu sendiri di sini. Trisurya sarat dengan adegan-adegan yang membuat kita kembali mempertanyakan cara pandang kita sebagai individu yang merupakan manusia yang bermasyarakat dan manusia sebagai spesies, tak ubahnya seperti spesies lainnya. Benarkah kita peduli dengan manusia? Dengan makhluk hidup lain? Dengan alam?

2. Keluwesan Penggunaan Konsep-Konsep Ilmiah

Liu Cixin yang memiliki tidak hanya ketertarikan namun juga pemahaman dalam bidang fisika mampu menjabarkan konsep ilmiah sebagai plot device. Contohnya, dijelaskan dalam novel ini bagaimana Ye Wenjie menemukan bahwa batas tertentu pada lapisan matahari dapat bersifat reflektif/memantulkan gelombang dan kemudian memperkuat frekuensinya berkali-kali lipat. Ye Wenjie kemudian ‘menembakkan’ gelombang radio melalui pemancar transmisi di Pangkalan Pantai Merah untuk mengirimkannya ke arah tata ‘surya’ planet Trisurya.

Walaupun secara konsep nampak seperti memungkinkan, namun benarkah kita dapat menggunakan lapisan plasma pada matahari sebagai amplifier gelombang radio seperti yang dilakukan Ye Wenjie?

Catatan Pribadi

Sejauh yang kutemukan, belum ada penelitian yang bisa mengamini narasi pada adegan Ye Wenjie dengan transmisi gelombang radionya tersebut.

Tapiiii, aku ketemu satu artikel penelitian yang menarik dan baru rilis April tahun ini di Nature (wow!). Penelitian yang dilakukan oleh Ding Yuan, dkk. menggunakan data observasi matahari dari misi Solar Dynamics Observatory (SDO) dan STEREO milik NASA. Data tersebut kemudian disimulasikan.

Penelitian ini membahas tentang gelombang magnetohydrodynamic (MHD) melintas melalui permukaan korona matahari dan bagaimana efeknya terhadap gelombang MHD. Sebagai reminder, matahari adalah bintang yang tersusun dari zat plasma yang kaya muatan.

Lihat ini aja berasa panas banget… plus takut 😰 (cr: 462977main_sun_layers_full.jpg (1041×781) (nasa.gov))

Walaupun tidak persis tepat seperti yang Ye Wenjie lakukan pada novel, penelitian oleh Ding Yuan dkk. tersebut menginformasikan bagaimana lubang korona yang dilewati oleh gelombang MHD tak ubahnya seperti lensa konveks sehingga terjadi proses pembengkokan (lensing process) gelombang.

Tidak hanya itu, penelitian ini juga menjelaskan bagaimana gelombang setelah melewati lensing process kemudian difokuskan pada titik fokal tertentu (focusing effect). Kurang lebih, ini seperti percobaan sederhana kita dengan kaca pembesar yang kita arahkan di bawah sinar matahari dimana cahaya akan terfokus pada satu titik dan ‘panas’-nya akan lebih terpusat/lebih panas.

Memang sih, tidak secara signifikan menjelaskan apakah bisa gelombang tersebut dipantulkan kembali dalam frekuensi yang lebih besar, tapi hasil penelitian ini membuka potensi untuk mempelajari sifat-sifat fisik dari lapisan korona matahari.

3. Akhir yang Dikemas dengan Apik

Liu Cixin lihai dalam membungkus akhir dari Trisurya dengan nggantung alias cliffhanging banget. Efek ini justru mendorong pembaca untuk segera membaca kelanjutannya di sekuel kedua, “Belantara”.

Trisurya diakhiri dengan Ye Wenjie yang pergi ke Puncak Radar, area dimana dulu Pangkalan Pantai Merah tempatnya bekerja berada. Ye Wenjie mendaki puncak tersebut sembari merenungkan kenyataan lain mengenai Trisurya yang ia dapatkan setelah ia diinterogasi oleh pihak Kepolisian.

Komunikasi yang dilakukannya dengan peradaban Trisurya jelas ia pahami sebagai sebab dari kedatangan armada-armada antariksa Trisurya ke Bumi dalam 450 tahun mendatang. Namun, apakah benar untuk tujuan yang Ye Wenjie yakini? Untuk menuntun peradaban manusia ke arah yang lebih baik?

“Inilah senjakala umat manusia,”

Kalimat tersebut menjadi kalimat terakhir oleh Ye Wenjie yang menutup novel Trisurya dengan tanda tanya.

Akhir Ulasan

Apakah Trisurya dapat dibaca sebagai bacaan santai?

Menurutku, bisa namun perlu dibarengi dengan ketelatenan untuk mencari arti dari istilah asing yang digunakan. Sejauh pengalamanku membaca Trisurya, aku masih bisa mengimbangi beberapa penjelasan tentang zarah/partikel elementer dan reaksi anihilasi partikel-antipartikel (terima kasih Halliday-Resnick vol. 2 dan Neil de Grasse Tyson untuk “Astrofisika untuk Orang Sibuk”). Tapi, aku sedikit kesulitan memahami tingkat dimensi.

Sebagai manusia yang persepsi inderanya terbiasa pada bentuk 3-dimensi, membayangkan dimensi yang lebih besar itu seperti membayangkan tesseract (bentuk 4-dimensi) tapi dalam skala yang di luar kemampuan persepsiku (engga tahu ya kalau persepsinya Liu Cixin, mungkin gampang kali bayanginnya 😭). Contohnya, 11-dimensi sekecil proton yang disebutkan menjelang bagian akhir dari novel ini.

Alhasil, beberapa kali dalam membaca buku ini cukup sering aku pause dan membuat gambaran di kepala pada bahasan tingkat dimensi ini. Tapi, menurutku ini tidak mengurangi keasyikan membaca Trisurya. Prinsipku, kalau pusing, yaudah trabas aja lanjut baca (paling di-sticky note dulu biar engga lupa kalau masih kepo).

Akhirulkalam, selamat membaca Trisurya!

Dan, selamat ulang tahun Liu Cixin!
Terima kasih sudah menulis trilogi Remembrance of Earth’s Past. Trisurya tidak hanya jadi gerbang pembukaku untuk trilogi ini, namun juga untuk seabrek karya-karya Liu Cixin lainnya.

Mengutip kalimat penutup, sekaligus harapan, oleh Liu Cixin dalam Catatan Penulis,

Kelak akan ada suatu hari ketika seluruh umat manusia akan bersatu dalam keselarasan, dan saya percaya kedatangan hari itu tak usah menunggu kemunculan makhluk luar bumi.

--

--

Her World in Her Words
Her World in Her Words

Written by Her World in Her Words

When I'm not in the lab, I travel and write here.

No responses yet