Surakusuma: Kolaborasi Seni di Bentang Alam Taman Pracima Mangkunegaran

Her World in Her Words
6 min readJul 1, 2024

--

Penjaga budaya Jawa di tanah Solo, begitulah Praja Mangkunegaran dikenal di kalangan publik. Mengambil peran aktif untuk menjaga budaya dan tradisi tak lantas membatasi ruang gerak Praja untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak eksternal. Surakusuma adalah salah satu perwujudan kolaborasi budaya antara Praja Mangkunegaran dan Museum Tumurun yang menyatukan estetika seni rupa kontemporer dan keindahan Taman Pracima.

Keindahan Taman Pracima dan Pracima dalam Lingkaran “Matahari” Karya Ugo Rondinone

Melalui kurasi karya-karya seni rupa oleh Hendra Himawan, Museum Tumurun menghadirkan karya-karya seniman dari dalam dan luar negeri. Dari sekian karya tersebut, aku ingin berbagi kesan terhadap tiga karya seni yang menarik untuk dikulik.

  1. Induk Monster oleh Yunizar
  2. Trans for Men oleh Alicja Kwade
  3. 216.5 arc x 17 oleh Bernar Venet

Induk Monster

Induk Monster oleh Yunizar

Kaget! Itu yang kurasakan saat tahu Induk Monster yang sebelumnya pernah hadir di Art Basel Hongkong 2018 ini ndilalah muncul di Pracima, lebih tepat tidak jauh dari Kolam Gusti Nurul di Pracima. Induk Monster lahir dari tangan Yunizar, seorang perupa kelahiran Talawi, Sumatra Barat. Karya rupa yang mengkilap ini berbahan perunggu. Sesuai namanya ‘Induk Monster’, Yunizar menggambarkan bagaimana sesosok monster yang kontras dengan tampilan seperti buaya namun pada saat yang bersamaan tampak lembut (atau lucu mirip Kappa, hehe). Dualisme kesan yang kontras tersebut mengamini konsep primordialisme dalam karya ini. Yunizar menggambarkan bagaimana sosok individu yang berada pada batasan antara pemangsa dan mangsa.

Kappa yang bakal kamu kasih Power Berry… kalau dikasih sesajen berupa timun 😐 (cr. Kappa (BTN) | The Harvest Moon Wiki | Fandom)

Ngomong-ngomong tentang Kappa, ini bikin aku ingat Kappa dari game Harvest Moon Back to Nature. Itu lho, muka dan moncong si Induk Monster ini mirip Kappa si penghuni danau Desa Mineral di Harvest Moon. Well, Kappa memang aslinya siluman sih di folklore Jepang. 😐

Trans-for-Men

Trans-for-Men (Alicja Kwade)

Saat melihat karya ini, entah kenapa aku terpikir posisi planet-planet di tata surya semisal mereka semua berderet dalam satu arah yang sama di orbitnya masing-masing (planetary alignment yang baru ada sekitar 6 abad lagi 😀). Ya tentu saja, bukan ini pesan dari karya rupa Trans for Men ini.😅

Alicja Kwade, sang perupa yang berasal dari Berlin, berusaha untuk menampilkan bagaimana suatu objek terbentuk melalui proses-proses yang alami. Batu yang Kwade gunakan di-scan dalam bentuk tiga dimensi, kemudian Kwade membuat variasi dari model tiga dimensi tersebut dengan tetap mempertahankan volum asli dari batu tersebut.

Dengan memosisikan delapan batu tersebut dalam satu formasi yang berurutan, Kwade ingin menunjukkan bagaimana suatu rupa suatu objek bertransformasi dan sekaligus mempertanyakan pada titik manakah transformasi ini bermula dan berakhir. Pertanyaan ini muncul sebagai akibat dari penggunaan cermin dalam karya ini. Dalam wawancaranya dengan Melissa Bianca Amore di portal BOMB, Kwade menekankan bagaimana ia mengambil esensi realita dan materialitas pada objek (batu) yang direfleksikan oleh cermin sehingga objek pun dapat pula dianggap sebagai cermin dan cermin yang tampak di sini tak ubahnya seperti jendela transformatif bagi objek tersebut.

Kwade banyak bermain dengan topik transformasi objek. Masih dalam wawancara tersebut, ketertarikan Kwade terhadap topik tersebut dibentuk oleh pertanyaan filosofis,

Kapan suatu objek masih merupakan objek yang sama, dan kapan suatu objek tersebut berubah menjadi objek lain?

Baginya, esensi realita dari transformasi suatu objek menunjukkan bahwa realita tidak lebih dari sekedar konstruksi abstrak dengan definisi yang disetujui oleh manusia.

Pertanyaan Kwade di sini mengingatkanku dengan novel Polisi Ingatan (The Memory Police) karya Yoko Ogawa. Mengambil topik tentang bagaimana manusia memberi makna dan ingatan pada suatu objek, bagaimana makna dan ingatan tersebut menjadi nilai bagi suatu objek, dan apa yang terjadi saat seseorang tidak lagi mampu mengingat nilai objek tersebut. Dalam novel ini, sekumpulan masyarakat mengalami amnesia kolektif secara perlahan pada benda-benda hingga anggota tubuhnya.

Contohnya, ada adegan dimana mereka tidak lagi mampu mengingat nilai dari suatu parfum: tujuan, makna, dan segala kenangan personal. Eksistensi parfum menjadi sama tak bernilainya seperti hal-hal yang tidak diperhatikan. Karena tidak ada lagi nilainya, segala parfum yang ada di kota tersebut kemudian dihilangkan oleh para warga dengan cara dibuang ke sungai. Wangi seluruh parfum yang menguar dari sungai pun tidak sama sekali menggugah warga-warga yang kehilangan ingatannya. Begitulah akhir dari suatu objek yang kehilangan nilainya di mata manusia. Hilangnya nilai parfum tersebut menjadi realita yang diamini oleh masyarakat tersebut sehingga tindakan individu yang berusaha untuk mengingat dengan tetap menyimpan botol parfum pun dianggap sebagai tindakan yang subversif oleh Polisi Ingatan.

216.5° arc x 17

216.5° arc x 17 (Bernar Venet)

Tidak hanya kaget, tapi juga heran. Begitulah perjumpaanku karya Bernar Venet dari Prancis. Bagiku, berjumpa dengan karya Venet itu seperti membahasakan kecintaanku terhadap fisika dalam bentuk seni.

216.5° arc x 17 bukan sekedar karya yang tampak seperti besi-besi melengkung yang saling bertumpuk satu sama lain. Karya ini mengingatkanku dengan The Hypothesis of Gravity karya Venet yang pernah ditampilkan di Louvre, Paris pada 2022.

Singkat cerita, The Hypothesis of Gravity ini tidak hanya sebuah karya seni rupa namun juga sekilas pertunjukan seni. Besi-besi melengkung tersebut disusun sedemikian rupa, kemudian dirubuhkan oleh sang seniman sehingga besi-besi saling bertumpuk satu sama lain.

Secara umum, melalui karya 216.5 arc x 17 dan juga The Hypothesis of Gravity, Venet menampilkan konsep dari seni dan sains yang berperan di dalamnya. Konsep entropi dan energi dalam Hukum Kedua Termodinamika berlaku di sini. Setiap benda memiliki entropi, sesuatu yang melambangkan tingkat ketidakteraturan dalam suatu sistem. Sedangkan, energi merupakan suatu ukuran yang melambangkan kemampuan suatu sistem untuk memindahkan panas atau melakukan suatu kerja.

Upaya sang seniman untuk merubuhkan susunan besi yang berderet rapi merupakan konsep keterlibatan energi pada dua sistem termodinamika; sang seniman dan besi pertama. Energi kinetik dari upaya sang seniman merubuhkan susunan besi-besi. Tiap besi yang tersusun memiliki posisinya masing-masing yang tentu saja berhubungan dengan medan gravitasi bumi. Oleh karena itu, tiap besi memiliki energi potensial yang dalam hal ini berperan pada rubuhnya besi hingga saling bertumpuk satu sama lain.

Lewat karya-karya rupa yang melibatkan struktur makro ini, Venet menunjukkan bahwa bentuk yang ditimbulkan dari rubuhnya susunan besi ini tidak ada pakem bentuknya dalam seni rupa. Namun, kemudian apa yang melandasi sesuatu itu masih dalam koridor seni dan apa yang bukan? Dan bagaimana posisi elemen eksternal seperti energi dan entropi dalam membentuk apa yang nantinya akan kita persepsikan sebagai seni?

Penutup

Surakusuma tidak hanya menyajikan estetika seni rupa di tengah indahnya Taman Pracima. Bagiku, Surakusuma juga mengajak kita untuk mengingat kembali esensi hidup dan realita. Melalui karya Induk Monster, ia mengingatkanku tentang posisi dualisme sebagai manusia khususnya dalam konteks rantai makanan. Dengan akal dan kehendak bebasnya, manusia dapat menjadi pemangsa bagi manusia atau pun makhluk hidup lainnya. Namun, dengan pernyataan yang sama, manusia pun menjadi mangsa bagi sesamanya.

Sejalan dengan dualisme tersebut, Trans-for-Men mengajak kita untuk merenung tentang hakikat dari realita. Seperti realita bahwa kita adalah makhluk berakal yang berhak untuk semaksimal mungkin memanfaatkan makhluk hidup dan lingkungan di sekitar kita, mengubahnya menjadi berbagai bentuk sesuai kehendak kita. Mungkinkah ‘realita’ yang kita anggap normal ini tak ada bedanya dengan bentuk arogansi manusia?

Padahal, eksistensi manusia tak bedanya dengan makhluk hidup dan objek lainnya di alam semesta ini. Secara biologis, kita tersusun dari bahan-bahan organik yang sama juga ditemukan pada makhluk hidup lainnya. Manusia pun adalah sebuah sistem yang tidak luput dari segala hukum alam yang berlaku di dalam dirinya. Energi yang kita miliki tak sepenuhnya milik kita. Ia adalah warisan dari sekian generasi sebelum kita. 216.5 arc x 17 seakan menegaskan kembali kekekalan energi pada Hukum Pertama Termodinamika. Energi itu kekal, tak dapat diciptakan maupun dihancurkan, namun ia bertransformasi dari satu bentuk energi ke energi lainnya yang dalam prosesnya akan mengubah entropi dari suatu sistem tersebut.

Apresiasi seni sejatinya adalah koridor persepsi yang dapat bersifat sangat personal. Bisa jadi apa yang kutulis ini akan dimaknai secara berbeda oleh kamu yang nantinya akan melihat ketiga karya di atas. Tak ubahnya seperti sains, seni memiliki kemampuan untuk menggugah pikiran manusia karena, mengutip Venet dalam wawancaranya dengan Sotheby’s tahun ini, manusia sejatinya memiliki kemampuan untuk berpikir jauh melebihi apa yang ia anggap mampu ia pikirkan saat ini.

Kamu hanya memiliki waktu hingga 29 Juli 2024 untuk menikmati kolaborasi apik antara Mangkunegaran dan Museum Tumurun. Sisihkan waktumu sejenak di akhir pekan. Datanglah ke Solo dan nikmati karya-karya rupa tersebut di antara hijaunya Taman Pracima Mangkunegaran.

Jujur, ilustrasinya bagus sekali! Ini engga ada niatan dijadiin printed merch gitu kah? 🥲

Akhir kata, selamat menikmati Surakusuma!

--

--

Her World in Her Words
Her World in Her Words

Written by Her World in Her Words

When I'm not in the lab, I travel and write here.

No responses yet